Pulang sekolah di hari pertama semester 2, ibu tanya Mas Zhafi.
Ibu: Gimana di sekolah hari ini? Seneng?
Mas Zhafi: he-eh. (mengangguk)
Ibu: Oyah? Apa yang paling bikin mas Zhafi seneng di
sekolah?
Mas Zhafi: Tadi aku dikasih gangsing, dari Mora. Dia dari
Jogja.
Ibu: Oh.. iya yaa.. Mana gangsingnya?
Sesampai di rumah, Zhafi langsung mengeluarkan gangsing dan
mencoba memasangnya.
Tau kan, gangsing yang tradisional itu, yang terbuat dari
bambu. Satu mainan gangsing ini terdiri dari gangsing itu sendiri, tali jemuran
yang di ujungnya diikatkan kayu kecil dan pendek (sekitar 3 cm), dan sebuah
bilah bambu yang ukurannya lebih besar dari kayu kecil tadi (kurang lebih 5 cm).
Pada bilah bambu tadi terdapat lubang di salah satu ujungnya yang dimasuki tali
nilon tipis (yang seperti tali jemuran itu lho). Untuk bisa memutar gangsing
itu, kita harus melilitkan tali jemuran itu ke gangsingnya. Lalu ditarik dengan
cepat dan keras. Si gangsing pun akan berputar dengan indahnya, dan
mengeluarkan suara yang merdu.
Nah... mas Zhafi baru pertama kali memainkan gangsing itu.
Yaa, dulu-dulu banget sih pernah, tapi bukan dia sendiri yang memutarnya. Ayah
atau ibunya yang memainkan, Zhafi hanya melihat. Kali ini, dia mencoba
memainkannya sendiri. Melilitkan tali ke gangsing bukan perkara yang mudah
baginya. Sampai-sampai, dia nyeletuk, “Mainnya sih cepet, tapi masangnya yang
lama, bosen, susah!”
Beberapa kali
mencoba, tali selalu lepas. Kali ketiga mencoba, dia mulai ngambek (ini kok
ibunya banget ya), dan mulai menyalahkan si gangsing malang, “Mainannya jelek!”
Dudududuh... rasanya pengen aja bilang, “ya udah, ga usah
main lagi”. Atau, “ sini ibu aja yang pasang”. But wait!
Kalau dia dibiarkan menyerah di hal-hal kecil seperti ini, dia mungkin juga
akan menyerah terus untuk tantangan yang lebih besar lagi.
Lalu terjadilah obrolan ini:
Ibu: “Kenapa mainannya jelek?”
Mas Zhafi: “Habis susah gitu sih”
Ibu: “Tapi ibu liat anak-anak pada bisa mainin itu, kenapa
ya? Apa mereka langsung bisa? Pasti belajar dulu, dicoba terus, latihan terus”
“Mas Zhafi hanya perlu terus mencoba, sampe bisa”
“Zhafi dulu juga belajar naik sepeda kan ga langsung bisa.
Pertama roda 4, roda 3, terus roda 2. Itu malah butuh waktu lama”
Mas Zhafi: “Iya, tapi ibu aja deh yang pasang!” (masih
ngambek).
Ibu: “Ibu mau bantu
pasang sekali aja. Seterusnya, Zhafi yang coba ya. Kaya si Thomas Alva Edisin
tuh. Dia itu yang menemukan lampu. Karena jasanya, kita sekarang bisa menikmati
cahaya dari lampu. Padahal dulu, Pak Thomas bikin dan merakit lampu itu ga
langsung berhasil. Pertama coba rakit, gagal. Rakti lagi, gagal lagi, rakit
lagi, gagal lagi. Begituu terus sempai berapa kali?
Zhafi: (diem)
Ibu: ngga Cuma 10 kali, tapi 1000 kali malah. Jadi yang
penting, coba terus. Yakin deh, Zhafi juga lama-lama bisa
Zhafi: (masih diem)
Akhirnya, dia mencoba lagi. Pertama ngga mau muter, padahal
udah lumayan berusaha sabar melilitkan kumparan talinya. Dia coba lagi. Dann akhirnya,
satelah sekitar 10an kali mencoba, dia bisa memasang kumparan tali, dan memutarnya
dengan sangat baik. Excellent. Dan Zhafi pun sumringah karena puas bisa bermain
gangsing sendiri.
Katanya, “Zhafi perlu belajar cara gimana supaya lebih cepet
lagi masang talinya”.
Ibu: “Yak... terus latihan, nanti kan terbiasa dan bisa
lebih cepet"
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Haii emak, bapak, ibu, adik, abang, neng, uda, uni, akang, teteh, mas, dan mbak, tinggalkan komentar dan jejakmu yaa... saya senang sekali kalau bisa berkunjung ke rumah maya milikmu. Salam BW ^_^