21 Feb 2009

Malpraktek: Salah Siapa?


Membaca majalah nirmala terbitan tahun 2005 (apa 2003, ya) tadi sore, pas kebetulan topik utamanya tentang tips menghindari malapraktik. Hm...memang topik kasus Prita sudah selang beberapa minggu lalu, ya. Tapi ngga ada salahnya kalau saya coba ulas tentang hal ini.

Ternyata menurut salah seorang dokter yang menjadi narasumber di artikel itu, yaitu dr. Amarullah Siregar, malapraktik itu bisa datang dari dokter bisa datang dari pasien juga, lho. Bentuk malapraktik pun tidak harus selalu berujud dalam tindakan kelalaian operasi atau kesalahan pemberian obat.

Malapraktik datang dari dokter, bisa berupa kesalahan diagnosa, kesalahan pemberian tindakan, bahkan ketidaklengkapan informasi dari dokter untuk pasien bisa berujung pada malapraktik. Poin yang terakhir itu contohnya pemberian resep yang tidak disertai informasi yang jelas tentang apa efek sampingnya, obat ini untuk indikasi apa, dan kontradiksi apa, bagaimana cara mengonsumsi obat, alasan kenapa obat harus diminum sebelum atau sesudah makan. Dokter harus bisa dan mau menjelaskan sejelas mungkin kepada pasien mengenai semua itu.

Kalau untuk poin pertama (kesalahan diagnosa) dan kedua (kesalahan pemberian tindakan) bisa datang dari dokter, poin ketiga itu ada kontribusi dari pasien juga. Dokter hanya manusia biasa, terkadang lupa atau terlewat untuk menjelaskan sesuatu, tugas (dan hak) pasien itulah yang harus aktif dan kritis untuk bertanya sejelas mungkin, kalau perlu menceritakan riwayat penyakit atau gejalan yang dirasa berkaitan. Dari situ kita justru membantu dokter untuk menghindarkannya dari kasus malapraktik. Dan yang terpenting, kita juga punya hak untuk tau dan menentukan apakah tindakan dokter tersebut sesuai dengan kondisi tubuh kita atau tidak.

Kontribusi lainnya dari pasien yang bisa berujung pada malapraktik adalah ketika pasien memaksa dokter meberikan obat yang cespleng...yang bisa segera menyembuhkan GEJALA yang dideritanya. Perhatikan kata GEJALA di atas, karena itu berbeda dengan PENYAKIT. Jika penyelesaian difokuskan pada gejala, bisa berakibat negatif dan akumulatif pada tubuh kita. Gejala yang 'sembuh' seakan membuat kita sehat kembali, padahal apa yang menyebabkan gejala itu muncul belum tentu tuntas terselesaikan. Kadangkala, dokter terdesak untuk memberikan obat tersebut untuk mendapatkan kepercayaan dari pasien.

Memang tidak ada yang 100% benar, atau 100% salah. Ini pun tidak sedang mengkaitkan dengan kasus Prita. Tapi sekedar pengingat kepada kita semua, termasuk saya sendiri. Dengan informasi yang terbuka lebar melalui internet, buku, dan majalah. Kita selayaknya memperkaya diri dengan dengan pengetahuan tentang kesehatan atau penyakit yang ada di sekitar kita. Supaya ketika kita sakit, atau keluarga kita sakit, kita tidak memasrahkan begitu saja pada dokter. Setidaknya kita perlu meminta waktunya untuk memberi penjelasan, dan juga berdiskusi mengenai penyakit yang diderita. Ada baiknya juga kita meminta second opinion dari 1 atau 2 dokter lainnya. Yang terpenting, jangan takut untuk bersikap kritis dan banyak bertanya (jujur, untuk orang yang cenderung diam seperti saya, butuh perjuangan tersendiri), itu saran dari beberapa dokter yang saya tau melalui milis SEHAT.

Gambar diambil dari www.primaironline.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Haii emak, bapak, ibu, adik, abang, neng, uda, uni, akang, teteh, mas, dan mbak, tinggalkan komentar dan jejakmu yaa... saya senang sekali kalau bisa berkunjung ke rumah maya milikmu. Salam BW ^_^

What Is Your Passion?

Quote yang paling menginspirasi: "I am stronger than my excuses".